Berita

DPR: Pendelegasian Pengaturan Pungutan PNBP Hal Wajar

Kamis, 26 Maret 2015 | 15:03 WIB

Sidang lanjutan uji materi Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNBP) dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) kembali digelar pada Kamis (26/3) siang di ruang sidang Pleno MK. Sidang Perkara No. 4/PUU-XIII/2015 tersebut beragendakan mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan ahli serta saksi.

Didik Mukrianto sebagai anggota Komisi III DPR mengatakan bahwa Pasal 23A UUD 1945 menyebutkan “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Berdasarkan amanat konstitusi tersebut, maka untuk keperluan penerimaan negara yang bersifat memaksa termasuk di dalamnya penerimaan negara bukan pajak telah dibentuk UU No. 20 Tahun 1997.

“Bahwa UU PNBP telah mengatur tata cara penentuan siapa yang menjadi wajib bayar, tata cara pembayaran, dan prosedur penagihan pembayaran. UU PNBP yang berisi pengaturan mengenai tata cara untuk mencapai tujuan negara dalam rangka menghimpun PNBP. Dapat dikatakan, UU PNBP adalah legal policy pembentuk undang-undang sebagai penjabaran Pasal 23A UUD 1945,” papar Didik.

Dikatakan Didik, dalam rangka penerimaan negara, baik pajak maupun PNBP sangatlah dimungkinkan terjadi perubahan yang sangat cepat mengenai jenis-jenis dan besaran tarif PNBP yang harus ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Karena sifatnya yang dinamis tersebut, perangkat perundang-undangan yang paling memungkinkan untuk mengantisipasi perubahan tersebut adalah Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya, terkait ketentuan pungutan dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas, DPR berpandangan bahwa pendelegasian wewenang melakukan pengaturan pungutan juga lazim dilakukan dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Contohnya sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang pada intinya menyatakan bursa efek dapat memungut biaya pencatatan efek, iuran keanggotaan, dan biaya transaksi berkenaan dengan jasa yang diberikan, di mana biaya dan iuran dimaksud digunakan untuk kebutuhan pelaksanaan fungsi bursa efek.

“Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, khususnya pada Bagian Ketiga mengenai Premi dan Pasal 34 maupun Pasal 37 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, juga mengenakan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan,” ucap Didik kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.

Dalam persidangan tersebut, pemerintah juga menghadirkan ahli, yakni Dian Puji Nugraha Simatupang, Ketua Program Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dian menjelaskan mengenai frasa “diatur dengan undang-undang” dalam Pasal 23A UUD 1945 dapat diartikan bahwa pajak dan pungutan yang bersifat memaksa harus memiliki dasar hukum pemungutan dengan undang-undang.

“Pengaturan pemungutan dengan undang-undang disebabkan sifat memaksa secara publik, termasuk siapa subyek dan obyek pajak atau pungutan yang akan dilakukan. Undang-undang yang mengatur pemungutan pajak dan pungutan yang bersifat memaksa dapat mendelegasikan jenis dan tarif pajak serta pungutan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan umumnya,” urai Dian.

Lebih lanjut Dian mengatakan, pajak dimaknai sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. “Sedangkan penerimaan negara bukan pajak dimaknai sebagai seluruh penerimaan pemerintah yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan yang diperoleh dari pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah dalam pelayanan, pengaturan dan perlindungan masyarakat, pengelolaan kekayaan negara dan pemanfaatan sumber daya alam dalam mencapai tujuan nasional,” tandas Dian.

Seperti diketahui, Pemohon uji materi  UU PNBP dan UU Migas ini adalah PT. Gresik Migas. Pemohon menilai UU PNBP bertentangan Pasal 23A UUD 1945. Karena pemerintah atas perintah UU PNBP menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mewajibkan Pemohon membayar sejumlah iuran setiap bulannya kepada BPH Migas. Menurut Pemohon, UU PNBP juga bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Karena hingga saat ini Pemohon sebagai entitas yang taat hukum harus membayar sejumlah iuran kepada BPH Migas berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang Iuran.

Terhadap Pasal 48 ayat (2) pada frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” dan Pasal 49 pada frasa “dan Pasal 48” UU Migas, Pemohon  berpendapat, hal tersebut bersifat multi interpretatif, melanggar asas lex certa/asas kejelasan rumus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. (Nano Tresna Arfana) 

Sumber : https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=10722

Related Articles

Back to top button